🎾 Pertanyaan Tentang Sejarah Perkembangan Tasawuf Di Indonesia

Sebelumas-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Bilamembicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di nusantara, aceh memainkan peran yang sangat penting. Tokoh Ini Cukup Melegenda Dan Cukup Dikenal Di Hampir Seluruh Daratan Melayu. Perkembangan tasawuf di indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Salah satu yang menjadi rujukan untuk melacak pemikiran Pertanyaan Perkembangan ajaran tasawuf menjadi salah satu faktor yang mempercepat penyebaran Islam di Indonesia. Maksud pernyataan tersebut adalah a. Ajaran tasawuf memudahkan penaklukan terhadap wilayah-wilayah kerajaan Hindu Buddha di Indonesia. b. Masyarakat Indonesia anti terhadap sinkretisme dan menjunjung tinggi nilai nilai Adabeberapa teori tentang kedatangan Islam di Indonesia. Keragaman teori disebabkan oleh kedatangan Islam di Indonesia, perkembangan Islam di Indonesia, peran ulama dan sufi, dakwah. Accepted: 20-02-2020; reviewed: 30-03-2020; published: 04-06-2020 (rijal dakwah) dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia. Sejarah masa lalu akan M PendirianJohn Stuart Mill (1806-1873), mengenai kausalitas.Bagi dia, penyebab P ialah keseluruhan peristiwa, keadaan, dan perkembangan dan sebagainya yang mendahului P. ini dapat disebut sebab total bagi P. konsep sebab total ini dari sudut filsafat, mungkin memuaskan, akan tetapi dalam praktek, kita harus melacak sebab-sebab sebuah peristiwa, kita akan dihadapkan pada kesukaran-kesukaran Sejarahperkembangan Islam Hikmah mempelajari sejarah. di Indonesia perkembangan Islam di Indonesia. f Sebab Mudahnya Islam Diterima Masyarakat. a. Syarat masuk Islam sangat mudah. Seseorang dianggap telah masuk Islam. kalau ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat. b. Islam mudah dipelajari, dipahami, dan diterapkan. ContohSoal Essay Tentang Perkembangan Islam Di Indonesia. Nama nama berikut yang tidak mengandung sanga wali adalah a. Tuliskan tentang teori-teori masuknya agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia. Pada awalnya tokoh-tokoh yang menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para pedagang yang berasal dari jazirah Arab. SejarahPerkembangan Seni di Indonesia Pada Masa Prasejarah dan Masa Modern atau Kontemporer, Berikut ini akan kita bahas mengenai perkembangan seni di indonesia, perkembangan seni rupa di indonesia, suluk. Istilah suluk berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan. Suluk merupakan jenis sastra mistik Islam atau tasawuf, sedangkan makna ReleaseDate : 2004. Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia written by Abdul Qodir and has been published by this book supported file pdf, txt, epub, kindle and other format this book has been release on 2004 with Islam categories. On historical development of Islamic religious reformation in Indonesia. 1ldavjS. Penyebaran syiar Islam di Nusantara terjadi secara bertahap setidaknya sejak abad ke-13 M. Proses itu pun cenderung berbeda-beda di tiap wilayah Indonesia. Pada faktanya, setiap pulau memiliki tokoh-tokoh mubaligh serta kekhasan dakwah masing-masing. Sebagai contoh, di Jawa terdapat Wali Songo yang tidak hanya aktif menyampaikan risalah Islam, tetapi juga sebagian di antaranya terlihat dalam pemerintahan. Bagaimanapun, kemajemukan proses itu memiliki corak yang sama. Misalnya, penerimaan masyarakat setempat pada ajaran-ajaran tasawuf. Sejauh ini, ada cukup banyak penelitian tentang masuk dan tersebarnya ajaran-ajaran sufi di Nusantara. Salah satu akademisi yang turut menelaah hal tersebut ialah M Solihin. Guru besar ilmu tasawuf dari Universitas Islam Negeri UIN Sunan Gunung Djati itu menuangkan hasil risetnya dalam sebuah karya bertajuk Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Menurut dia, diskusi mengenai sejarah tasawuf di Indonesia penting dikaji. Sebab, peran diskursus itu sangat signifikan dalam syiar Islam secara keseluruhan di negeri ini. Buku itu terdiri atas enam bab. Pada bagian pertama, Solihin mengulas sejarah dan pemikiran tasawuf di Aceh. Ia memulai pembahasan dengan topik sejarah masuknya Islam di Bumi Serambi Makkah. Selanjutnya, perihal pendekatan sufistik dalam syiar agama tauhid di sana. Ada beberapa tokoh sufi Aceh yang dibicarakannya. Di antaranya ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, serta Abdurrauf as-Sinkili. Bab kedua membicarakan sejarah dan dialektika tasawuf di Sumatra Barat. Ada tiga tokoh yang dibahas dalam bagian ini. Mereka adalah Syekh Burhanuddin Ulakkan, Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi, dan Syekh Muhammad Jamil Jambek. Bab keempat berlanjut pada Sumatra Selatan. Ada lebih banyak sufi yang dibahas dalam bagian ini. Di antaranya ialah Muhammad Ma’ruf bin Abdallah, Shihabuddin bin Abdallah Muhammad, serta Abdul Shamad al-Palimbani. Bab kelima tampil lebih tebal daripada yang lainnya dalam buku karya Solihin ini. Penulisnya pertama-tama menyuguhkan narasi tentang awal mula syiar Islam di Tanah Jawa. Selanjutnya, pembahasan berkaitan dengan peran dan pemikiran Wali Songo. Ada beberapa tokoh lainnya yang turut dibicarakan. Misalnya, Syekh Siti Jenar, Ronggowarsito, dan Haji Hasan Mustapa. Yang terasa cukup unik pada bagian ini, profesor ilmu tasawuf itu juga menyertakan profil Abah Sepuh dan Abah Anom dari Pesantren Suryalaya. Setidaknya hingga zaman Orde Baru atau Reformasi, pengaruh keduanya masih terasa bagi sebagian masyarakat, khususnya warga Jawa Barat. Pada bab terakhir, penulis memaparkan sejarah dan pemikiran tasawuf di Sulawesi. Ia membuka paparannya dengan narasi tentang histori Kesultanan Buton. Kerajaan Islam ini dinilai berperan besar dalam menumbuhkan diseminasi ajaran tasawuf. Pemikiran tokoh Mungkin, alasan bahwa topik sejarah Aceh ditempatkan pada posisi pertama dalam buku ini tidak sekadar faktor geografis. Daerah tersebut memang wilayah paling barat di Indonesia. Namun, peran Tanah Rencong sejatinya sangat besar dalam penyebaran syiar Islam di Nusantara. Menurut Solihin, Aceh berposisi penting dalam konteks sejarah tasawuf di Indonesia. Pertama-tama, kultur masyarakat setempat tidak dapat dipisahkan dari setting Islam. Bahkan, agama tersebut merupakan identitas mereka. Maka, wajarlah kiranya bila Aceh memunculkan banyak sufi yang berpengaruh besar. Sebut saja, Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, serta Abdurrauf as-Sinkili. Masing-masing mereka mengusung ide-ide yang kontemplatif terkait tasawuf. Sebagai contoh, Abdurrauf as-Sinkili. Solihin mengatakan, tokoh tersebut berupaya melakukan “rekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat. Kendati demikian, ajaran tasawuf as-Sinkili dalam beberapa hal mirip dengan Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri. Misalnya, paham bahwa satu-satunya wujud hakiki ialah Allah SWT. Adapun alam ciptaan-Nya bukanlah wujud hakiki, melainkan hanya bayangan dari yang hakiki. Menurut al-Singkili, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu memperoleh keserupaan. Maka, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah. Contohnya, sifat yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah. Selain itu, as-Sinkili juga mengusung pemikiran tentang zikir. Dalam pandangannya, zikir adalah suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Ajaran tasawufnya juga bertalian dengan martabat perwujudan, yang dijelaskan secara lebih rinci dalam buku ini. Pada bab-bab selanjutnya, penulis kemudian mengupas tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi, dan Kalimantan. Sedangkan untuk pembahasan tentang pemikiran tasawuf di Pulau Jawa sendiri dibahas di dalam bab kelima. Pemikiran tasawuf di Pulau Jawa menjadi pembahasan yang menarik dalam buku ini. Tentunya, Wali Songo menjadi figur yang banyak dibahas. Solihin menuturkan, proses Islamisasi yang dilakukan para sembilan ulama itu berlangsung pada abad ke-15. Masa itu bertepatan dengan era Kesultanan Demak. Yang disebut sebagai wali sembilan itu ialah Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Metode dakwah mereka ialah menanamkan nilai-nilai ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Dengan demikian, dakwah tidak sekadar ucapan, melainkan juga tindakan dan laku hidup. Karena itu, para sejarawan menilai, kesembilan wali itu mensyiarkan Islam di Indonesia dengan cara yang tidak konfrontatif terhadap budaya lokal. Bahkan, beberapa ekspresi kultural masyarakat diadopsi sebagai medium dakwah yang efektif. Solihin mengungkapkan, para Wali Songo tidak meninggalkan karya-karya tulis, sebagaimana halnya para sufi di Sumatra. Bagaimanapun, legasi mereka tetap dapat dikaji. Hal itu tampak dari tulisan-tulisan para murid atau pengikutnya dalam pelbagai manuskrip berbahasa Jawa. Berdasarkan pemikiran dan praktik-praktik yang dijelaskan dalam buku ini, maka corak tasawuf yang dianut oleh para wali itu adalah tasawuf sunni. Menurut penulis, hal ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka terhadap tokoh-tokoh dari pusat dunia Islam, seperti Imam al-Ghazali. Para wali kerap menjadikan karya-karya sang Hujjatul Islam sebagai bahan dakwah mereka. Solihin mengatakan, bukti nyata mengenai hal ini terdapat dalam menuskrip yang ditemukan Drewes. Naksah itu diperkirakan muncul pada masa transisi dari Hinduisme ke Islam. Di dalamnya, terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab Bidayah al-Hidayah karangan Imam al-Ghazali. Di samping itu, juga tertulis informasi-informasi tentang ajaran Wali Songo yang sangat bertentangan dengan pemikiran pantheisme. Demikian juga tulisan generasi berikutnya yang meriwayatkan ajaran-ajaran Wali Songo. Mereka justru menghindarkan diri dari tulisan-tulisan Ibnu Arabi, seperti Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Di bagian akhir buku ini, Solihin menyimpulkan bahwa tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh memiliki corak falsafi. Tasawuf falasafi ini begitu kuat tersebar dan dianut oleh sebagaian masyarakat Aceh, dengan tokoh-tokoh utamanya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Dua tokoh sufi-falsafi ini memiliki pengaruh cukup besar hingga tersebar ke daerah-daerah di Nusantara. Kehadiran tasawuf yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul oleh tasawuf yang bercorak Sunni. Kedatangan tasawuf Sunni menjadi semacam koreksi terhadap pemahaman tasawuf falsafi yang cenderung “manut” pada ajaran-ajaran Ibnu Arabi, al-Jilli, dan bahkan al-Hallaj. Dengan munculnya dua aliran tasawuf ini menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi polemik yang tarik menarik antar keduanya. Masing-masing corak tasawuf mempunyai argumen-argumen yang menguatkan masing-masing aliran tasawuf tersebut. Namun, pada akhirnya yang menjadi dominan di Nusantara hingga kini adalah tasawuf Sunni. Buku ini menyuguhkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari para tokoh sufi di Nusantara. Kendati demikian, sebenarnya masih banyak tokoh sufi Nusantara lainnya yang masih belum terekam dalam Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Karena itu, kiranya para pembaca masih membutuhkan kajian lanjutan dari sumber-sumber lainnya. Karya Solihin ini memuat pokok bahasan yang mencakup biografi para ulama sufi di Nusantara dan karya penting mereka di bidang tasawuf. Karena itu, buku ini tidak hanya dapat dipelajari oleh kalangan mahasiswa dan akademisi, tetapi juga siapapun yang tertarik pada diskursus sufi. DATA BUKU JUDUL Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara Penulis M Solihin Penerbit Rajagrafindo Persada Tebal 349 halaman Uploaded byArief Hakim P Lubis 80% found this document useful 5 votes8K views3 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document80% found this document useful 5 votes8K views3 pagesPerkembangan Tasawuf Di IndonesiaUploaded byArief Hakim P Lubis Full descriptionJump to Page You are on page 1of 3Search inside document Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Oleh Abdul Hadi WM*Hamzah Fansuri di dalam MakkahMencari Tuhan di Baitil Ka’bahDi Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya jumpa di dalam rumahSufinya bukannya kainFi’l-Makkah daim bermainIlmunya lahir dan batinMenyembah Allah terlalu rajinHidup dalam dunia upama dagangDatang musim kita kan pulangLa tasta’khiruna sa`atan lagi’ kan datangMencari makrifat Allah jangan kepalangHamzah Fansuri, penyair sufi Melayu abad ke-16 MDalam konteks sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tarekat, pendakwah dan darwish atau fakir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin, orang-orang di pinggiran kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalan Islam. Tidak sedikit pula di antara mereka dikenal sebagai ahli falsafah, cendikiawan, sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial keagamaan yang populis. Ahli-ahli sejarah Islam dulu maupun sekarang juga telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam ta`ifa pada abad-abad tersebut memiliki afiliasi dengan tarekat-tarekat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di seantero dunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Makkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah Al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid Al-Baghdadi, dan Mansur Al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke-8-13 M. Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke-10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di hidup dan mendirikan Tarekat Maulawiyah di Konya, kota penting di Anatolia pada abad ke-11-17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sanga terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14-17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang mufti dan juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M di kesultanan Aceh sebagaimana kebangkitannya pada masa awal, bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970-an, dan terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya ialah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha, manager, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan beberapa fenomena pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai penerbitan buku tentang tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein Nasr, A J Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M Naquib Al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman Al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu pada awal 1970-an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survei yang dibuat IKAPI Ikatan Penerbit Indonesia kalau tak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980-an. Puncaknya ialah pada waktu Festival Istiqlal diselenggrakan paa tahun 1991 dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain budaya atau sastra di surat kabar ibukota seperti Harian Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur’an juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980-an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Misalnya seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan oleh karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ullumul Qur’ uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB Institut Pertanian Bogor. Training-training organisasi mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibukota. Tarekat-tarekat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun 1980-an. Sejauh mengenai gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus dijadikan ajang kegiatan politik. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar. Kebijakan depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka seperti ITB, IPB, UGM, dan UI dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan pembelajaran secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Tujuannya ialah menyusun strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam penghayatan secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di kalangan terpelajar pada tahun 1980-an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota, yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang teramat penting dalam memelihara dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena itu manusia wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu, memelihara kehidupan di dunia sebaik-baiknya. Orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup serba Hamzah Fansuri yang dikutip pada awal tulisan ini telah mengatakan kepada kita tujuan tasawuf yang sebenarnya yaitu tauhid; kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan tempat kita memohon pertolongan.* Sastrawan, Budayawan, dan ahli filsafat sumber Bayt Al-Hikmah InstituteBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini

pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia